Menurut
Abdul Chaer (2010:23) pragmatic adalah ilmu yang mengkaji bagaimana
satuan-satuan bahasa itu digunakan dalam pertuturan dalam rangka melaksanakan
komunikasi. Acapkali kita dapati satu-satuan bahasa yang disajikan dalam
gramatikal tidak sama ‘maknanya’ dengan kalau satuan bahasa itu digunakan dalam
pertuturan.
Contoh
aplikasi pragmatic dalam kehidupan sehari-hari, berikut pertuturan antara (A)
yang menjadi penutur dengan (B) yang menjadi lawan tutur :
(A) : Punya korek?
(B) : Punya nih. (B mengeluarkan korek
dan memberikan kepada A)
Secara gramatikal pernyataan (A)
kepada (B) hanyalah (A) ingin tahu apakah (B) punya korek atau tidak, tetapi
secara pragmatic mengandung pengertian bahwa (A) ingin meminjam korek untuk
menyulut rokoknya. Pengertian yang terkandung di dalam ujaran dalam kajian
pragmatic disebut “maksud”, bukan makna. Jadi secara pragmatic pertanyaan (A)
kepada (B) itu bukan berisi makna, melainkan berisi maksud. Dalam contoh diatas
(A) telah mengetahui maksud dari (A) sehingga selain menjawab pertanyaan dan
mengelurakan korek.
Contoh aplikasi lain, terjadi pada
suatu pagi (A) adalah seorang suami dan (B) adalah seorang istri.
(A) : Bu, sudah hamper pukul tujuh.
(B) : Iya Pak. Sarapan juga sudah siap.
Secara gramatikal ucapan (A) adalah
bahwa (A) memberi tahu istrinya (B)
bahwa hari sudah hamper pukul tujuh. Sedangkan secara pragmatic ucapan (A) itu
bermaksud memberi tahu bahwa (A) harus segera berangkat ke kantor dan sarapan.
Karena
pragmatic mengkaji maksud ujaran dan bukan makna ujaran, maka ada pakar yang
mengatakan bahwa pragmatic adalah telaah mengenai hubungan antara lambang
dengan penafsiran. Poerwo (dalam Abdul Chaer 2010:24). Yang dimaksud dengan
lambang disini adalah satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih yang
membawa pengertian seperti yang dimaksud oleh penutur maupun lawan tutur. Dalam
hal ini Parker (dalam Abdul Chaer 2010:24) menyatakan bahwa semantic dan
pragmantik sama-sama cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan
bahasa. Hanya bedanya, semantic mempelajari makna secara internal sedangkan
pragmantik mempelajari makna secara eksternal. Secara internal artinya
mempelajari makna yang secara inheren terdapat di dalam satuan bahasa itu.
Lalu, secara eksternal berarti “makna” yang berada di luar satuan bahasa itu,
yaitu yang disebut maksud.
Dengan
kata lain, makna yang dikaji oleh semantic dapat dirumuskan dengan pertanyaan
“apa makna x itu?” (what does x mean?). Sedangkan
yang dikaji oleh pragmatic dapat dirumuskan dengan pertanyaan “apa yang anda
maksud dengan berkata x itu?” (what do
you mean by x?).
Jadi,
pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks.
Bidang kajian pragmatik secara umum meliputi tindak tutur (speech act),
deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), dan implikatur
percakapan (conversational inplicature).
B.
Bagian Kajian Pragmatik
1.
Tindak Tutur
Teori
tindak tutur di kemukakan oleh dua orang ahli filsafat bahasa yang bernama John
Austin dan John Searle pada tahun 1960-an. Menurut teori tersebut, setiap kali
pembicara mengucapkan suatu kalimat, Ia sedang berupaya mengerjakan sesuatu
dengan kata-kata (dalam kalimat) itu. Menurut istilah Austin (dalam Nababan,
2012: 1), “ By saying something we do something”.
Tindak
tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat
dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan
membentuk suatu persitiwa tutur (speech
event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Contoh
aplikasinya :
a. Saya minta maaf atas kenakalan anak
saya ini
b. Dengan mengucapkan “bismilah” acara seminar saya buka.
Dari kedua contoh diatas selain
mengatakan sesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan. Kalimat (a)
juga menyatakan melakukan tindakan yaitu meminta maaf. Begitu juga dengan
kalimat (b) selain mengatakan sesuatu, juga menyatakan melakukan tindakan yaitu
membuka acara seminar.
Kalimat atau tuturan yang selain
mengatakan ssesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan dalam kajian
pragmatic disebut kalimat performatif atau tuturan performatif, seperti contoh
diatas. Sedangkan tuturan yang hanya mengatakan sesuatu saja disebut kalimat
atau tuturan konstantif, contohnya “Monumen Nasional tingginya 125 meter.”
Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk
kalimat performatif oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai sebuah tindakan yang
berbeda yaitu :
a. Tindak tutur lokusi
Tindak
tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu sebagaimana adanya
atau the act of saying something tindakan
untuk mengatakan sesuatu. Contoh :
Tahun 2004
gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Kalimat
diatas dituturkan oleh seseorang penutur semata-mata hanya untuk memberikan
informasi sesuatu belaka.
b. Tindak tutur ilokusi
Tindak
tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan
sesuatu. Disebut juga The act doing
something (tindak melakukan sesuatu).
Contoh :
Ujian
Nasional sudah dekat.
Jika
kalmat diatas dituturkan oleh seorang guru, bukan hanya berisi informasi tetapi
menyuruh muridnya untuk semakin giat belajar karena ujian nasional sudah dekat
dan agar lulus ujian nasional.
c. Tindak tutur perlokusi
Tindak
tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap
lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokasi
sering disebut The act of affective
someone (tindak yang memberi efek pada orang lain).
Contoh :
Minggu
lalu saya ada keperluan keluarga yang tudak dapat ditinggalkan.
Kalimat
diatas selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan
di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu
mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga meminta maaf.
Lalu efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si
penutur.
2.
Deiksis
Deiksis
adalah kata atau kata-kata yang dirujukannya tidak tetap. Dapat berpindah dari
satu wujud ke wujud yang lain. Kata-kata yang deiksis ini adalah kata-kata yang
menyatakan waktu, tempat, dan yang berupa kata ganti.
Contoh
a. Sebagai saksi dia akan diperiksa besok.
b. (percakapan telepon antara A di
Caheum dan B di Ledeng)
A : saya
tidak jadi pergi karena di sini hujan
lebat dan banjir.
B : Wah, di sini tidak ada hujan.
c. (percakapan C dan D di Kampus)
C : Saya tidak bisa ujian karena belum bayar
SPP
D : Saya juga belum.
Kata besok
pada contoh (a) adalah deiksis karena jika sekarang hari Senin maka besok
Selasa, jika hari ini Selasa maka besok Rabu dan seterusnya.
Kata di sini pada contoh (b) juga deiksis
karena pada A di sini berarti di
Caheum dan B berarti di Ledeng.
Kata saya pada contoh (c) juga deiksis karena
kata saya pada C mengacu pada C, dan
kata saya pada D mengacu kepada D.
3.
Praanggapan
Praanggapan
atau presuposisi adalah “pengetahuan”
bersama yang dimiliki oleh penutur atau lawan tutur yang melatarbelakangi suatu
tindak tutur.
Contoh
aplikasinya pertuturan antara A dan B :
A
: Anakmu yang bungsu sudah kelas berapa?
B
: Baru kelas dua SD.
Dalam
pertuturan diatas ada pengetahuan bersama yang dimiliki A dan B bahwa B
memiliki anak lebih seorang, karena ada tuturan yang bungsu berarti ada yang
sulung. Juga ada pengetahuan bersama bahwa anak-anak B sudah bersekolah. Tanpa
pengetahuan itu tentu A tidak dapat mengajukan pertanyaan seperti itu, dan B
tidak dapat menjawab seperti itu juga. Andaikata A hanya memiliki pengetahuan
bahwa B sudah mempunyai anak dan tidak punya pengetahuan bahwa anak B sudah
bersekolah A bisa bertanya dengan tuturan “Anakmu sudah sekolah belum?”.
4.
Implikatur Percakapan
Implikatur
atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang
penutur dan lawan tuturnya. Namun, keterkaitan itu tidak tampak secara literal,
tetapi dapat dipahami secara tersirat. Dengan kata lain, implikatur adalah
maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi
Contoh
aplikasi dalam kehidupan, yaitu :
A : Wah panas
sekali sore ini. Kamu kok tidak berkeringat. Apa tidak kegerahan?
B : Tidak! Aku
sudah mandi tadi.
Kalimat
jawaban B “aku sudah mandi tadi” secara literal tidak mempunyai sangkut paut
dengan kalimat pertanyaan dari B “Apakah tidak kegerahan?”. Namun secara
tersirat jawaban itu menyatakan bahwa B tidak kegerahan karena dia sudah mandi,
dan bagi siapa pun yang sudah mandi pasti tidak gerah lagi.
Contoh
lain yaitu :
A
: waktu ashar sudah masuk belum?
B
: Sudah, tadi tukang roti sudah lewat.
5.
Prinsip Kerja Sama dalam Pertuturan
Pertuturan
akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan
itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti dikemukakan oleh Gries (1975:
45-47). Dalam kajian pragmatic prinsip tersebut disebut maksim, yakni berupa
pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus
menaati empat maksim kerjasama, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksi cara (maxim of manner). Berikut penjelasannya.
a. Maksim kuantitas
Maksim
kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang
secukupnya saja atau sebanyaknya yang dibutuhkan oleh lawannya. Jadi, jangan
berlebihan.
Contoh :
1) Ayam saya telah berrtelur.
2) Ayam saya yang betina telah bertelur
Dari cotoh diatas, contoh (1) telah
menaati maksim sedangkan (2) tidak menaati maksim karena terdapat yang betina yang tidak perlu. Semua ayam
yang bertelur pasti yang betina.
b. Maksim kualitas
Maksim ini
menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal yang sebenarnya, hal
yang sesuai dengan data dan fakta. Kecuali barangkali kalau memang tidak tahu. Contohnya
:
A : coba
kamu Ahmad, kota Makassar ada dimana?
B : Ada di
Sulawesi Selatan, Pak.
Contoh
diatas sudah menaati maksim kualitas karena kata Makassar memang berada di
Sulawesi Selatan.
c. Maksim relevansi
Maksim ini
mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah atau tajuk pertuturan. Contohnya :
A : Bu,
ada telepon untuk ibu!
B : Ibu
sedang di kamar mandi, Nak.
Sepintas
jawaban B tidak berhubungan. Namun jika disimak baik-baik hubungan itu ada.
Jawaban B mengimplikasikan bahwa B tidak bisa menerima telepon secara langsung
karena sedang berada di kamar mandi.
d. Maksim cara
Maksim ini
mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur,
tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut
Contoh yang
belum memenuhi maksim :
A : Kamu
dating kesini mau apa?
B : mau
mengambil hak saya.
Contoh
diatas bersifat ambigu, karena kata hak
saya bisa mengacu pada hak sepatu atau bisa juga pada sesuatu yang menjadi
miliknya.
Contoh
yang sudah memenuhi maksim cara :
A : coba
kamu Ahmad, kota Makassar ada dimana?
B : Ada di
Sulawesi Selatan, Pak.
C.
Hubungan Pragmatik dengan
Konsentrasi Bahasa
Tarigan (1980:2) menyatakan
“keterampilan berbahasa mencakup empat
segi, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis.” Yule (2006:5) menyatakan “manfaat belajar
bahasa melalui pragmatic ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau
tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan
yang mereka perlihatkan, ketika mereka berbicara.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa keempat keterampilan berbahasa itu saling
berhubungan, selain itu keterampilan berbahasa juga sangat diperlukan oleh
seseorang, karena bila seseorang menguasai keempat keterampilan berbahasa maka orang itu dapat berkomunikasi dengan
baik.
Melihat penjelasan dalam landasan
teoretis ternyata pengertian pragmatic
berdasarkan para ahli itu berbeda namun pada dasarnya mempunyai maksud
yang sama yaitu menelaah suatu makna
ujaran berdasarkan konteks dan situasi pragmatik juga mempunyai keterkaiitan
dengan sosialinguistik wacana, pembelajaran komunikatif, semantik, dan
keterampilan berbahasa.
Kemampuan
ini harus diterapkan dalam kegiatan berbahasa. Kegiatan berbahasa akan
berlangsung kominikatif apabila telah menguasai empat keterampilan berbahasa
seperti yang dikemukakan oleh Tarigan. Jadi antara keterampilan berbahasa
dengan pragmatik saling berhubungan seperti, seseorang tidak akan bisa menjadi
seorang penyimak yang baik apabila tidak dapat menafsirkan makna lisan maupun
makna tulisan. Begitu pula ketika
seseorang sedang melakukan kegiatan membaca, dia harus mampu menafsirkan makna
suatu bacaan baik yang tersirat maupun tersurat. Untuk kegiatan menulis, ketika
seseorang melakukan kegiatan menulis ia harus dapat merangkaikan makna yang
terkandung dalam suatu tata sehingga membentuk suatau makna. Selain itu, ketika
seseorang berbicara di depan umum harus dapat mengerti, masksudnya perkataan
yang disampaikan harus memiliki makna. Jadi antara keterampilan berbahasa
dengan pragmatik merupakn pengetahuan secara linguistik yang dimiliki seseorang
yang diwujudkan dalam empat keterampilan berbahasa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA :
Chaer.
2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta:
Rineka Cipta.
Budiarti,
Diah. (2013). Memahami Hakikat Konsep
Tata Bahasa dan Pragmatik. [Online]. Tersedia: .http://diahbudiarti.wordpress.com/2013/05/28/memahami-hakikat-konsep-tata-bahasa-dan-pragmatik/. [14 November 2013].
Tata. (2011). Pragmatic dan mikrolinguistik. [Online].
Tersedia: . http://pragmatikwacana.blogspot.com/2011/10/pragmatik-dan-mikrolinguistik.html. [14 November 2013]
terima kasih atas informasinya dan artikelnya...sangat membantu dalam mnyelesaikan tugas...
BalasHapussilakan bisa mengjungi balik ya gan...
di sini
terima kasih atas informasinya dan artikelnya...sangat membantu dalam mnyelesaikan tugas...
BalasHapussilakan bisa mengjungi balik ya gan...
di sini
Keren abis. Yuk kunjungi Simakpedia.com
BalasHapustrimakasih atas informasinya dan attikelnya yang dapat membantu saya menyelesaikan tugas saya..
BalasHapusAgen Slot
BalasHapusAgen Slot
Game Slot
Slot Joker123
Slot Game