PRAGMATIK LINGUISTIK

| Kamis, 05 Desember 2013
A.    Pengertian Pragmatik
Menurut Abdul Chaer (2010:23) pragmatic adalah ilmu yang mengkaji bagaimana satuan-satuan bahasa itu digunakan dalam pertuturan dalam rangka melaksanakan komunikasi. Acapkali kita dapati satu-satuan bahasa yang disajikan dalam gramatikal tidak sama ‘maknanya’ dengan kalau satuan bahasa itu digunakan dalam pertuturan.
Contoh aplikasi pragmatic dalam kehidupan sehari-hari, berikut pertuturan antara (A) yang menjadi penutur dengan (B) yang menjadi lawan tutur :
(A)      : Punya korek?
(B)       : Punya nih. (B mengeluarkan korek dan memberikan kepada A)
Secara gramatikal pernyataan (A) kepada (B) hanyalah (A) ingin tahu apakah (B) punya korek atau tidak, tetapi secara pragmatic mengandung pengertian bahwa (A) ingin meminjam korek untuk menyulut rokoknya. Pengertian yang terkandung di dalam ujaran dalam kajian pragmatic disebut “maksud”, bukan makna. Jadi secara pragmatic pertanyaan (A) kepada (B) itu bukan berisi makna, melainkan berisi maksud. Dalam contoh diatas (A) telah mengetahui maksud dari (A) sehingga selain menjawab pertanyaan dan mengelurakan korek.
Contoh aplikasi lain, terjadi pada suatu pagi (A) adalah seorang suami dan (B) adalah seorang istri.
(A) : Bu, sudah hamper pukul tujuh.
(B)  : Iya Pak. Sarapan juga sudah siap.
Secara gramatikal ucapan (A) adalah bahwa (A)  memberi tahu istrinya (B) bahwa hari sudah hamper pukul tujuh. Sedangkan secara pragmatic ucapan (A) itu bermaksud memberi tahu bahwa (A) harus segera berangkat ke kantor dan sarapan.
Karena pragmatic mengkaji maksud ujaran dan bukan makna ujaran, maka ada pakar yang mengatakan bahwa pragmatic adalah telaah mengenai hubungan antara lambang dengan penafsiran. Poerwo (dalam Abdul Chaer 2010:24). Yang dimaksud dengan lambang disini adalah satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih yang membawa pengertian seperti yang dimaksud oleh penutur maupun lawan tutur. Dalam hal ini Parker (dalam Abdul Chaer 2010:24) menyatakan bahwa semantic dan pragmantik sama-sama cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan bahasa. Hanya bedanya, semantic mempelajari makna secara internal sedangkan pragmantik mempelajari makna secara eksternal. Secara internal artinya mempelajari makna yang secara inheren terdapat di dalam satuan bahasa itu. Lalu, secara eksternal berarti “makna” yang berada di luar satuan bahasa itu, yaitu yang disebut maksud.
Dengan kata lain, makna yang dikaji oleh semantic dapat dirumuskan dengan pertanyaan “apa makna x itu?” (what does x mean?). Sedangkan yang dikaji oleh pragmatic dapat dirumuskan dengan pertanyaan “apa yang anda maksud dengan berkata x itu?” (what do you mean by x?).
Jadi, pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian pragmatik secara umum meliputi tindak tutur (speech act), deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), dan implikatur percakapan (conversational inplicature).

B.     Bagian Kajian Pragmatik
1.      Tindak Tutur
Teori tindak tutur di kemukakan oleh dua orang ahli filsafat bahasa yang bernama John Austin dan John Searle pada tahun 1960-an. Menurut teori tersebut, setiap kali pembicara mengucapkan suatu kalimat, Ia sedang berupaya mengerjakan sesuatu dengan kata-kata (dalam kalimat) itu. Menurut istilah Austin (dalam Nababan, 2012: 1), “ By saying something we do something”.
Tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu persitiwa tutur (speech event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Contoh aplikasinya :
a.       Saya minta maaf atas kenakalan anak saya ini
b.      Dengan mengucapkan “bismilah” acara seminar saya buka.
Dari kedua contoh diatas selain mengatakan sesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan. Kalimat (a) juga menyatakan melakukan tindakan yaitu meminta maaf. Begitu juga dengan kalimat (b) selain mengatakan sesuatu, juga menyatakan melakukan tindakan yaitu membuka acara seminar.
Kalimat atau tuturan yang selain mengatakan ssesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan dalam kajian pragmatic disebut kalimat performatif atau tuturan performatif, seperti contoh diatas. Sedangkan tuturan yang hanya mengatakan sesuatu saja disebut kalimat atau tuturan konstantif, contohnya “Monumen Nasional tingginya 125 meter.”
 Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai sebuah tindakan yang berbeda yaitu :
a.       Tindak tutur lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau the act of saying something tindakan untuk mengatakan sesuatu. Contoh :
Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Kalimat diatas dituturkan oleh seseorang penutur semata-mata hanya untuk memberikan informasi sesuatu belaka.
b.      Tindak tutur ilokusi
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Disebut juga The act doing something (tindak melakukan sesuatu).
Contoh :
Ujian Nasional sudah dekat.
Jika kalmat diatas dituturkan oleh seorang guru, bukan hanya berisi informasi tetapi menyuruh muridnya untuk semakin giat belajar karena ujian nasional sudah dekat dan agar lulus ujian nasional.
c.       Tindak tutur perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokasi sering disebut The act of affective someone (tindak yang memberi efek pada orang lain).
Contoh :
Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tudak dapat ditinggalkan.
Kalimat diatas selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga meminta maaf. Lalu efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.

2.      Deiksis
Deiksis adalah kata atau kata-kata yang dirujukannya tidak tetap. Dapat berpindah dari satu wujud ke wujud yang lain. Kata-kata yang deiksis ini adalah kata-kata yang menyatakan waktu, tempat, dan yang berupa kata ganti.
Contoh
a.       Sebagai saksi dia akan diperiksa besok.
b.      (percakapan telepon antara A di Caheum dan B di Ledeng)
A : saya tidak jadi pergi karena di sini hujan lebat dan banjir.
B : Wah, di sini tidak ada hujan.
c.       (percakapan C dan D di Kampus)
C : Saya tidak bisa ujian karena belum bayar SPP
D : Saya juga belum.
Kata besok pada contoh (a) adalah deiksis karena jika sekarang hari Senin maka besok Selasa, jika hari ini Selasa maka besok Rabu dan seterusnya.
Kata di sini pada contoh (b) juga deiksis karena pada A di sini berarti di Caheum dan B berarti di Ledeng.
Kata saya pada contoh (c) juga deiksis karena kata saya pada C mengacu pada C, dan kata saya pada D mengacu kepada D.


3.      Praanggapan
Praanggapan atau presuposisi adalah “pengetahuan” bersama yang dimiliki oleh penutur atau lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur.
Contoh aplikasinya pertuturan antara A dan B :
A : Anakmu yang bungsu sudah kelas berapa?
B : Baru kelas dua SD.
Dalam pertuturan diatas ada pengetahuan bersama yang dimiliki A dan B bahwa B memiliki anak lebih seorang, karena ada tuturan yang bungsu berarti ada yang sulung. Juga ada pengetahuan bersama bahwa anak-anak B sudah bersekolah. Tanpa pengetahuan itu tentu A tidak dapat mengajukan pertanyaan seperti itu, dan B tidak dapat menjawab seperti itu juga. Andaikata A hanya memiliki pengetahuan bahwa B sudah mempunyai anak dan tidak punya pengetahuan bahwa anak B sudah bersekolah A bisa bertanya dengan tuturan “Anakmu sudah sekolah belum?”.

4.      Implikatur Percakapan
Implikatur atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Namun, keterkaitan itu tidak tampak secara literal, tetapi dapat dipahami secara tersirat. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi
Contoh aplikasi dalam kehidupan, yaitu :
A :     Wah panas sekali sore ini. Kamu kok tidak berkeringat. Apa tidak kegerahan?
B :     Tidak! Aku sudah mandi tadi.
Kalimat jawaban B “aku sudah mandi tadi” secara literal tidak mempunyai sangkut paut dengan kalimat pertanyaan dari B “Apakah tidak kegerahan?”. Namun secara tersirat jawaban itu menyatakan bahwa B tidak kegerahan karena dia sudah mandi, dan bagi siapa pun yang sudah mandi pasti tidak gerah lagi.
Contoh lain yaitu :
A : waktu ashar sudah masuk belum?
B : Sudah, tadi tukang roti sudah lewat.

5.      Prinsip Kerja Sama dalam Pertuturan
Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti dikemukakan oleh Gries (1975: 45-47). Dalam kajian pragmatic prinsip tersebut disebut maksim, yakni berupa pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus menaati empat maksim kerjasama, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksi cara (maxim of manner). Berikut penjelasannya.
a.       Maksim kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyaknya yang dibutuhkan oleh lawannya. Jadi, jangan berlebihan.
Contoh :
1)      Ayam saya telah berrtelur.
2)      Ayam saya yang betina telah bertelur
Dari cotoh diatas, contoh (1) telah menaati maksim sedangkan (2) tidak menaati maksim karena terdapat yang betina yang tidak perlu. Semua ayam yang bertelur pasti yang betina.
b.      Maksim kualitas
Maksim ini menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal yang sebenarnya, hal yang sesuai dengan data dan fakta. Kecuali barangkali kalau memang tidak tahu. Contohnya :
A : coba kamu Ahmad, kota Makassar ada dimana?
B : Ada di Sulawesi Selatan, Pak.
Contoh diatas sudah menaati maksim kualitas karena kata Makassar memang berada di Sulawesi Selatan.
c.       Maksim relevansi
Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Contohnya :
A : Bu, ada telepon untuk ibu!
B : Ibu sedang di kamar mandi, Nak.
Sepintas jawaban B tidak berhubungan. Namun jika disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B mengimplikasikan bahwa B tidak bisa menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi.
d.      Maksim cara
Maksim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut
Contoh yang belum memenuhi maksim :
A : Kamu dating kesini mau apa?
B : mau mengambil hak saya.
Contoh diatas bersifat ambigu, karena kata hak saya bisa mengacu pada hak sepatu atau bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya.
Contoh yang sudah memenuhi maksim cara :
A : coba kamu Ahmad, kota Makassar ada dimana?
B : Ada di Sulawesi Selatan, Pak.

C.    Hubungan Pragmatik dengan Konsentrasi Bahasa
Tarigan (1980:2) menyatakan “keterampilan berbahasa  mencakup empat segi, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.” Yule (2006:5) menyatakan “manfaat belajar bahasa melalui pragmatic ialah bahwa seseorang dapat  bertutur kata tentang makna yang  dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan  jenis-jenis tindakan yang mereka perlihatkan, ketika mereka berbicara.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas  dapat disimpulkan bahwa  keempat keterampilan berbahasa itu saling berhubungan, selain itu keterampilan berbahasa juga sangat diperlukan oleh seseorang, karena bila seseorang menguasai keempat keterampilan berbahasa  maka orang itu dapat berkomunikasi dengan baik.
Melihat penjelasan dalam landasan teoretis ternyata pengertian pragmatic  berdasarkan para ahli itu berbeda namun pada dasarnya mempunyai maksud yang sama  yaitu menelaah suatu makna ujaran berdasarkan konteks dan situasi pragmatik juga mempunyai keterkaiitan dengan sosialinguistik wacana, pembelajaran komunikatif, semantik, dan keterampilan berbahasa.
Kemampuan ini harus diterapkan dalam kegiatan berbahasa. Kegiatan berbahasa akan berlangsung kominikatif apabila telah menguasai empat keterampilan berbahasa seperti yang dikemukakan oleh Tarigan. Jadi antara keterampilan berbahasa dengan pragmatik saling berhubungan seperti, seseorang tidak akan bisa menjadi seorang penyimak yang baik apabila tidak dapat menafsirkan makna lisan maupun makna  tulisan. Begitu pula ketika seseorang sedang melakukan kegiatan membaca, dia harus mampu menafsirkan makna suatu bacaan baik yang tersirat maupun tersurat. Untuk kegiatan menulis, ketika seseorang melakukan kegiatan menulis ia harus dapat merangkaikan makna yang terkandung dalam suatu tata sehingga membentuk suatau makna. Selain itu, ketika seseorang berbicara di depan umum harus dapat mengerti, masksudnya perkataan yang disampaikan harus memiliki makna. Jadi antara keterampilan berbahasa dengan pragmatik merupakn pengetahuan secara linguistik yang dimiliki seseorang yang diwujudkan dalam empat keterampilan berbahasa tersebut.


DAFTAR PUSTAKA :
Chaer. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Budiarti, Diah. (2013). Memahami Hakikat Konsep Tata Bahasa dan Pragmatik. [Online]. Tersedia: .http://diahbudiarti.wordpress.com/2013/05/28/memahami-hakikat-konsep-tata-bahasa-dan-pragmatik/. [14 November 2013].
Tata. (2011).  Pragmatic dan mikrolinguistik. [Online]. Tersedia:  . http://pragmatikwacana.blogspot.com/2011/10/pragmatik-dan-mikrolinguistik.html. [14 November 2013]

5 komentar:

  1. terima kasih atas informasinya dan artikelnya...sangat membantu dalam mnyelesaikan tugas...
    silakan bisa mengjungi balik ya gan...
    di sini

    BalasHapus
  2. terima kasih atas informasinya dan artikelnya...sangat membantu dalam mnyelesaikan tugas...
    silakan bisa mengjungi balik ya gan...
    di sini

    BalasHapus
  3. trimakasih atas informasinya dan attikelnya yang dapat membantu saya menyelesaikan tugas saya..

    BalasHapus

Next Prev
Diberdayakan oleh Blogger.
▲Top▲